Sepekan terakhir ini, tepatnya selepas tayangan Rosi Kompas TV tanggal 12 Juni 2025 lalu, K.H. Ulil Abshar Abdalla alias Gus Ulil panen sejuta kritik. Beberapa kalimat yang ia lontarkan sepanjang diskusi bersama aktivis sekaligus Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, menjadi bulan-bulanan warganet (netizen). Frasa “wahabi lingkungan” yang Gus Ulil sematkan terhadap narasi lawan bicaranya itu menuai banyak kritik tandingan.
Pada mulanya, stempel itu ia alamatkan kepada Iqbal yang dinilainya menyusun narasi ketakutan (fear forming). Selain berbahaya, bagi Gus Ulil, narasi tersebut juga penuh kesan puritanistik yang lekat dengan wahabisme. Sentimen negatifnya terhadap wahabi yang ia sangkut gayutkan dengan masalah ekologi ini sejatinya menunjukkan di mana posisi, bidang, serta kapasitas Gus Ulil mestinya.
Blunder Positioning
Seperti kita tahu, Gus Ulil sejatinya memang bukan pakar tambang. Rekam jejaknya lebih banyak bertelusur pada jalan-jalan akidah dan transformasi keislaman.
Pada awal era tahun 2000-an, namanya moncer di kalangan publik tanah air lewat kontribusinya bagi Jaringan Islam Liberal (JIL). Bersama kolega karibnya semisal Luthfi Assyaukanie, keduanya aktif menyerukan suara-suara pembaharuan Islam.
Gus Ulil secara personal bahkan lantang mengkritisi sikap otoritatif Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang cenderung monopolistik dalam hal interpretasi teks-teks keagamaan. Selain moncer sebagai penghidup JIL, publik mengenal sosoknya pula sebagai pengampu “Ngaji Ihya’”.
Sajian ini mengudara via kanal YouTube Ghazalian College yang digarap bersama istrinya, Ning Ienas Tsuroiya—putri KH Mustofa Bisri. Walhasil, kiranya Gus Ulil silap soal kapasitas dan kapabilitasnya. Ia melakukan blunder positioning hingga berani berbicara perihal tambang, yang jelas di luar kecakapannya.
Tambang dan Penyandang Disabilitas
Inkapasitas serta inkapabilitas Gus Ulil perihal tambang juga nampak dari caranya menyoroti masalah dan risiko pasca penambangan. Ia lebih banyak mengajukan analogi-analogi yang apesnya tidak equal sama sekali. Iqbal Damanik menyebutnya dengan “tidak head to head”.
Gus Ulil juga luput dari keberpihakan terhadap penyandang disabilitas. Padahal, setumpuk penelitian telah menunjukkan betapa berbahayanya kegiatan industri ekstraktif bagi masa depan disabilitas. Misalnya, kita bisa membaca temuan Elvis Agyei-Okyere dan kolega pada tahun 2019. Okyere serta dua rekannya, Opoku dan Nketsia, menemukan bahwa pertambangan mengancam kehidupan disabilitas, baik secara langsung maupun tidak.
Hal tersebut terjadi lantaran aktivitas pertambangan menyebabkan hilangnya lingkungan tempat tinggal sekaligus memicu kenaikan biaya hidup.
Kembali ke Pertaubatan Ekologi
Pada wusananya, kita hanya bisa mengajak serta membersamai Gus Ulil untuk lekas sadar diri dan kembali ke pertaubatan ekologi. Blunder demi blunder-nya telah menyulut dahana kecewa pada segenap hati publik—warga nahdliyyin terutama sekali.
Namun, menempatkan Gus Ulil saja selaku individu yang luput juga rasanya kurang tepat. Ia hanyalah salah satu bidak yang Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ajukan—atau mungkin tumbalkan—untuk memuluskan penerimaan konsesi tambang.
Tentu kita masih ingat salah satu momen bersejarah dalam Muktamar NU di Lampung pada tahun 2021 silam. Pada saat itu, ribuan muktamirin menyambut riuh gembira ikrar Presiden Joko Widodo yang menjanjikan konsesi tambang untuk NU. Banyak pihak menilai hal tersebut sebagai “ongkos politik” yang mesti presiden bayar. Tambang merupakan mahar atas loyalitas NU kepada pemerintah sepanjang dua periode kepemimpinan Jokowi. Kini, sebagai implikasi dari ikrar tersebut, Gus Ulil sebagai persona independen harus terjerat blunder yang memalukan.
Akan tetapi, PBNU mesti juga bertanggung jawab atas inkonsistensi dan sikap “tamak” mereka. Dahulu PBNU sempat mengkritik persoalan tambang, pada era kepemimpinan K.H. Said Aqil Siradj atau bahkan di masa K.H. Ali Yafie. Keduanya getol mengejawantahkan konsep fikih lingkungan hidup alias fikih ekologi.
Bila figur sekaliber Gus Ulil dan institusi sedigdaya NU bisa goyah oleh tambang, mungkin kita yang kini merasa sadar mungkin saja di masa depan turut tergoda oleh kemilau nikel, batubara, atau tambang-tambang lainnya. Na’udzu billahi min dzalik.
Kontributor: M. Khoirul Imamil M
Editor: Aji Santoso
Foto: Dok. Ilustrasi Gus Ulil diambil dari instagram @samuderafakta