Dalam beberapa waktu terakhir, saya mulai menyadari adanya perbedaan tren antara organisasi pelajar dan organisasi mahasiswa di Indonesia. Pada dasarnya, organisasi pelajar beranggotakan siswa tingkat SMP hingga SMA, sedangkan organisasi mahasiswa (ormawa) diikuti oleh mahasiswa perguruan tinggi. Namun, istilah “pelajar” sering kali dimaknai lebih luas, mencakup siapa saja yang sedang menempuh pendidikan, termasuk mahasiswa. Akibatnya, beberapa organisasi pelajar seperti IPNU, IPM, atau PII memiliki keanggotaan yang cukup luas, dengan keterlibatan mahasiswa dalam sejarah dan perkembangannya.
Ketika saya bergabung dengan sebuah organisasi mahasiswa, saya merasakan atmosfer yang sangat berbeda dibandingkan dengan pengalaman saya di IPNU. Perbedaan yang paling mencolok adalah alokasi waktu. Sebagai mahasiswa, saya tidak dapat sepenuhnya fokus pada organisasi. Undangan pertemuan dan komunikasi dengan rekan sesama anggota tidak selalu dapat saya penuhi karena harus membagi waktu dengan kuliah, magang, serta berbagai tanggung jawab lainnya.
Sebaliknya, ketika masih menjadi siswa SMA dan aktif di sebuah Pimpinan Anak Cabang, saya memiliki lebih banyak keleluasaan dalam menghadiri berbagai kegiatan. Hampir setiap hari atau setidaknya beberapa kali dalam seminggu, saya dapat berpartisipasi dalam kegiatan organisasi. Menulis surat atau menghubungi rekan juga bukan perkara sulit karena mereka selalu tersedia untuk berdiskusi. Organisasi kala itu menjadi semacam ruang penyegaran setelah menghadapi beban pelajaran di sekolah. Kegiatan organisasi tidak hanya menjadi ajang bertemu teman, tetapi juga memperkuat semangat dan bahkan kerap menjadi latar belakang kisah persahabatan hingga percintaan.
Perbedaan lain yang saya amati adalah dalam hal isu yang diperjuangkan. Organisasi mahasiswa, terutama yang bernaung dalam BEM, DEMA, atau organisasi mahasiswa eksternal yang aktif dalam gerakan sosial, memiliki dinamika yang lebih kompleks. Fokus mereka tidak hanya pada pengembangan diri, tetapi juga pada isu-isu sosial dan politik yang menuntut perhatian serta keterlibatan yang lebih besar. Selain itu, konflik internal maupun eksternal sering kali muncul dalam organisasi mahasiswa. Tidak semua organisasi memiliki dinamika seperti ini, tetapi kompetisi yang ketat dan kecenderungan individualisme lebih sering terlihat dibandingkan di organisasi pelajar. Hal ini wajar mengingat setiap mahasiswa memiliki prioritas dan kepentingan masing-masing, sehingga sulit untuk membangun rasa kolektif yang erat seperti dalam organisasi pelajar.
Rasa kebersamaan yang kuat dalam organisasi pelajar menjadi nilai tambah yang patut diapresiasi. Kemudahan dalam mengatur pertemuan, waktu yang lebih fleksibel, serta ikatan emosional yang erat membuat organisasi pelajar cenderung lebih inklusif dan kolektif. Selain itu, jumlah anggota organisasi pelajar dalam satu wilayah biasanya lebih banyak dibandingkan organisasi mahasiswa, yang cakupannya lebih terbatas pada lingkup kampus atau daerah tertentu.
Terkait dengan isu yang diangkat, organisasi pelajar memiliki keuntungan karena fokus utama mereka adalah pendidikan. Pelajar tidak memiliki beban untuk menggerakkan isu-isu sosial dan politik seperti hak asasi manusia, ekonomi, atau demokrasi, karena memang belum menjadi tanggung jawab mereka. Oleh sebab itu, saya merasa skeptis terhadap keterlibatan sejumlah siswa SMK— dulu dikenal sebagai STM—dalam demonstrasi di jalan, mengenakan seragam sekolah, bahkan membawa senjata tajam. Beberapa orang berpendapat bahwa ikut demonstrasi lebih baik daripada terlibat tawuran, tetapi tidak sedikit pula yang melihatnya sebagai tindakan berisiko.
Saya pernah membaca poster yang berbunyi “STM Bergerak…” dan “Kami Susul Kakak Mahasiswa…” dalam pemberitaan media massa tahun 2020, serta yang terbaru pada 2024 saat terjadi demonstrasi terkait keputusan Mahkamah Konstitusi. Saya mempertanyakan sejauh mana para pelajar tersebut memahami substansi gerakan yang mereka ikuti. Besar kemungkinan mereka tidak terlibat dalam pembahasan isu atau konsolidasi sebelum aksi. Jika hanya sekadar ikut-ikutan, tanpa pemahaman yang jelas mengenai duduk perkara, aksi mereka justru berisiko menimbulkan kesan negatif terhadap dunia pelajar. Jika pelajar ingin berpartisipasi dalam suatu gerakan, mereka sebaiknya memilih isu yang lebih relevan dan terstruktur agar lebih berdampak serta terarah.
Dalam konteks gerakan pelajar, saya terenyuh ketika membaca laporan Tempo mengenai demonstrasi para siswa SD hingga SMA di Wawena yang menuntut pendidikan gratis daripada program makan siang gratis bergizi (MGB) yang ditawarkan pemerintah. Masalah pendidikan yang mahal, infrastruktur sekolah yang tidak layak, pungutan liar, rendahnya apresiasi terhadap tenaga pengajar, serta meningkatnya biaya kuliah merupakan isu-isu yang lebih layak disuarakan oleh pelajar di seluruh Indonesia.
Pada akhirnya, masa-masa aktif di organisasi pelajar adalah kenangan yang sangat berharga bagi saya. Masa ketika saya dapat berorganisasi dengan penuh semangat tanpa harus mengkhawatirkan masa depan yang penuh tuntutan. Ada sebuah nasihat yang sering diberikan kepada anak-anak: “Nikmati masa bermainmu sepuas-puasnya, karena suatu saat kau akan merindukannya.” Nasihat sederhana, tetapi penuh makna.
Penulis: Fahri Reza Muhammad
Editor: Ikbar Zakariya