Diaspora Kader IPNU, Mau Dibawa Kemana?

Indonesia akan menghadapi bonus demografi pada tahun 2050. Di satu sisi, umat NU merupakan penyumbang demografi terbesar. Namun, di mana posisi IPNU waktu itu? Sebagai bagian dari Nahdlatul Ulama, IPNU menempati sejumlah pos penting. Wadah pelajar NU berdinamika, ruang belajar ajaran Aswaja, dan produsen kader untuk NU. Tetapi, melihat kondisi sekarang, mampukah kader IPNU bersaing?

Setelah mengikuti Makesta, seseorang dibaiat menjadi Anggota. Setelah Lakmud dirinya naik tingkat jadi kader muda. Lalu, tingkatan terakhir adalah kader utama. Apa perbedaan antara anggota dan kader? Umumnya, anggota berarti seseorang yang berhak memiliki kartu tanda anggota dan sah menjadi bagian dari organ. Sedangkan beban kader tidak hanya itu. Kader punya tugas sebagai motor organisasi. Melanjutkan estafet kepengurusan dan menjaga dinamika organisasi. Di samping itu, peranan kader juga urgen dalam melihat isu dan situasi yang dihadapi.

Akan tetapi, sebagai penyelenggara kaderisasi paling vital, sudahkah kader dipersiapkan untuk hal-hal selain organisasi. Bergerak di ruang-ruang publik, dan mengambil peran di berbagai sektor. Kelemahan IPNU terlihat jelas di sini. Kita tidak begitu siap untuk mempersiapkan kader di kemudian hari. Walhasil, banyak kader IPNU akhirnya teronggok di kepengurusan bawah. Gabung dengan organisasi lain atau kehilangan gairah memikirkan aktualisasi diri. Apalagi memikirkan kader setelahnya.

Faktanya juga, senior IPNU tidak begitu masif terlibat dalam sektor publik. Ada tapi tetap kalah dibandingkan organisasi-organisasi lain. Sering saat ditanya apa keuntungan gabung IPNU? Jawaban yang keluar adalah normatif. Khidmah di Nahdlatul Ulama. Ngurip-nguripi NU. Kader banyak yang bingung dapat apa setelah gabung organisasi ini.

Untuk menjawab itu, yang perlu dipersiapkan adalah pemetaan kader. Diaspora kader ke segala bidang. Tanpa meninggalkan jejaring yang sudah terbangun dari awal. Kapan waktunya? Idealnya, pemetaan ini dilakukan secara simultan setelah kaderisasi formal. Terus menerus melalui pemantauan kader. Dibantu sinergitas pengurus dan alumni. Dalam buku pedoman organisasi, ini disebut juga kaderisasi nonformal.

Pemetaannya bisa dimulai dengan melihat minat dan ruang yang tepat. Tiap orang tentu beda arahnya. Misalnya, ada yang tepat diarahkan di sektor akademis, aspirasi publik, gerakan sosial, bisnis, atau sektor-sektor lain. Ruang-ruang yang jika tidak dimasuki, akan diisi oleh orang lain. Untuk menunjang itu semua, jejaring diaspora kader perlu diaktifkan. Komunikasi antar satu koneksi dan koneksi lain, dapat diupayakan terjadi. Itu sebagai katalis gerakan pemetaan itu sendiri.

Jika hal ini berjalan dengan baik, IPNU di kemudian hari akan memiliki tokoh di berbagai sektor penting. Manuvernya untuk umat yang lebih luas, tidak eksklusif untuk NU. Organisasi tidak juga dipandang menjadi mesin penghasil kader, tapi berperan sebagai tempat aktualisasi pelajar menemukan jati diri. IPNU dapat menjadi ruang berproses bersama, menuju tujuan yang mulia.

Meskipun demikian, sering kali yang muncul adalah sentimen negatif, terutama soal politik. Ada kader yang mencalonkan diri sebagai calon legislatif dianggap menjual organisasi. Atau kader yang dekat pejabat, disebut bejat dan tidak berkhidmat. KH. Tolchah Mansoer, pendiri IPNU juga pernah terlibat dalam politik praktis, bahkan saat kepengurusannya berlangsung. Beliau juga dekat dengan beragam kalangan, baik masyarakat biasa sampai pejabat teras Republik. Lantas, bagian mana yang dianggap tidak berkhidmat?

Kita juga perlu menelaah kembali ucapan K.H. Tolchah, “Cita-cita IPNU adalah membentuk manusia berilmu yang dekat dengan masyarakat, bukan manusia calon kasta elit dalam masyarakat”, bahwa yang dimaksud bukan semata-mata tidak boleh menjadi pejabat publik, akademisi, atau konglomerat, seperti yang sering kali disalahpahami dari frasa “calon kasta elit”. Frasa “kasta elit” perlu dilihat sebagai gambaran strata masyarakat manapun yang tidak mendengar keluh kesah masyarakat, antipati dengan problem sosial, dan bahkan ingin menyengsarakan rakyat.

Sentimen negatif tadi juga akibat doktrin awam bahwa politik itu kotor. Kita selalu didorong menggaungkan Khittah NU. NU sebagai organisasi nonpolitik. Padahal, politik sendiri adalah sebuah strategi, bukan tujuan akhir. Selama IPNU tidak dijadikan ladang penggalian suara dalam politik praktis, IPNU tetap dalam koridor aman. Bahkan, posisinya harus dipahami sebagai instrumen pengontrol kebijakan. Entah mengambil posisi pro atau oposisi dengan pemerintah.

Diaspora kader adalah amanah bersama. Tugas berat yang tidak hanya memastikan status IPNU di masa depan, tetapi juga eksistensinya. IPNU tetap dibutuhkan atau tidak suatu saat nanti? Pertanyaan ini mudah dijawab, jika kita punya harapan kuat dan usaha konkret ke depan. Atau sebaliknya, kita pasrah menerimanya dan tanpa langkah apa pun.

Fahri Reza M.

Pengurus PC IPNU Kab. Pati 2023-2025.

Editor: Salman

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Skip to content