Sirekan – Jakarta, 10 Januari 2025 – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto telah menjadi sorotan publik. Dengan alokasi awal sebesar Rp71 triliun di APBN 2025, program ini menjadi langkah monumental untuk meningkatkan kualitas gizi masyarakat Indonesia, khususnya anak-anak sekolah, balita, ibu hamil, dan menyusui.
Namun, di balik euforia program ini, muncul tantangan besar.
Dalam mengelola dampak lingkungan akibat potensi meningkatnya sisa makanan (food waste).
Dody Irawan selaku Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (PP IPNU), menegaskan sisa makanan bukan hanya masalah sosial tetapi juga bom waktu bagi lingkungan, terutama dalam konteks krisis iklim global.
“Program ini luar biasa, tapi kita tidak boleh melupakan sisi ekologisnya,” ujar Dody, Ketua Bidang Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam PP IPNU.
Menurut data Food and Agriculture Organization, (FAO) sepertiga makanan yang diproduksi untuk konsumsi manusia terbuang, menyumbang 4,4 gigaton emisi gas rumah kaca secara global. Di Indonesia, data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2023 menunjukkan bahwa sisa makanan mencapai 40,91% dari total sampah nasional, jauh lebih besar dibandingkan sampah plastik (19,18%).
Ironisnya, meski isu sampah plastik sering menjadi sorotan, sisa makanan yang berkontribusi besar terhadap kerusakan lingkungan justru kerap diabaikan.
“Jika program MBG tidak diiringi edukasi tentang pengelolaan sisa makanan, kita hanya akan menambah tumpukan masalah baru,” tegas Dody.
Tahap awal program MBG mencakup 190 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang tersebar di 26 provinsi. Dapur-dapur ini akan menjadi pusat distribusi makanan bergizi.
Namun, keberhasilan program ini tidak hanya diukur dari jumlah makanan yang dibagikan. Pengelolaan sisa makanan harus menjadi bagian penting dari operasional dapur-dapur ini.
Dody Irawan mengapresiasi langkah besar pemerintah, tetapi ia menekankan bahwa edukasi masyarakat adalah fondasi penting untuk memastikan keberlanjutan program.
“Kita perlu mengajarkan masyarakat untuk menghargai makanan, memanfaatkan sisa makanan, dan mendaur ulangnya. Dengan demikian, kita tidak hanya memerangi kelaparan, tetapi juga menjaga lingkungan,” katanya.
Dody mengusulkan agar pemerintah menggandeng komunitas lokal, sekolah, dan organisasi kepemudaan seperti IPNU untuk mengampanyekan gaya hidup peduli lingkungan.
“Sekolah sebagai penerima utama program MBG dapat menjadi pusat edukasi pengelolaan sisa makanan. Anak-anak diajarkan untuk menghargai makanan dan memahami dampaknya terhadap lingkungan. Ini akan menciptakan generasi yang lebih peduli pada keberlanjutan,” jelasnya.
Untuk memastikan program MBG ramah lingkungan, Dody mengusulkan beberapa inovasi:
Komposting Terintegrasi: Dapur MBG dapat mengolah sisa makanan menjadi pupuk organik untuk mendukung pertanian lokal.
Zero-Waste Kitchen: Dapur MBG menerapkan sistem pengelolaan sampah yang efisien dengan memanfaatkan setiap bahan makanan secara maksimal.
Dody menyimpulkan bahwa program MBG adalah peluang emas untuk menciptakan sinergi antara kesejahteraan sosial dan kelestarian lingkungan.
“Kita tidak hanya memberi makan rakyat, tetapi juga membangun kesadaran akan tanggung jawab bersama terhadap bumi. Jika program ini berhasil, Indonesia tidak hanya akan bebas dari kelaparan, tetapi juga menjadi negara yang peduli lingkungan,” tutupnya.
Kontributor: Suparyanto
Editor: Salman