Maulid Nabi: Spirit Keteladanan di Tengah Krisis Kebangsaan

Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. tidak sepatutnya dipahami hanya sebagai ritual seremonial tahunan. Lebih dari itu, ia merupakan momentum historis-spiritual untuk merefleksikan keteladanan Rasulullah, sekaligus menimbangnya dengan kondisi objektif bangsa Indonesia hari ini.

Realitas kebangsaan kita tengah berada dalam ujian berat. Gelombang demonstrasi yang mewarnai bulan Agustus lalu hampir terjadi di seluruh penjuru negeri. Rakyat turun ke jalan menuntut perubahan, namun tidak sedikit yang berakhir dengan kericuhan: pembakaran, penjarahan hingga jatuhnya korban jiwa.

Aspek ekonomi pun tidak lebih menenangkan. Gelombang pemutusan hubungan kerja melanda berbagai sektor, sementara harga kebutuhan pokok terus merangkak naik. Petani menjerit, kelas menengah terhimpit, rakyat kecil semakin kehilangan daya beli. Pada saat yang sama, praktik korupsi justru semakin menggurita.

Dugaan penyalahgunaan kewenangan muncul hampir di semua lini kekuasaan. Kepercayaan publik terhadap institusi negara kian merosot. Kepolisian dinilai memerlukan evaluasi mendasar, DPR pun tak luput dari sorotan publik. Kebijakan fiskal seperti kenaikan pajak, kontroversi program MBG hingga pemangkasan anggaran pendidikan hanya mempertegas jarak, antara penguasa dan rakyat.

Sementara itu, ormas keagamaan yang dulunya menjadi penyuluh umat, kini tampak kehilangan peran strategisnya. Semua itu menandakan bahwa bangsa Indonesia sedang tidak berada dalam keadaan baik-baik saja.

Justru itu, dalam situasi krisis inilah relevansi Maulid Nabi menemukan ruangnya. Rasulullah Saw. lahir di tengah masyarakat Arab yang sarat disintegrasi: kesenjangan sosial yang mencolok, pertikaian antarsuku yang berkepanjangan, serta degradasi moral yang nyaris total. Namun, dengan akhlak mulia dan kepemimpinan profetik, beliau mampu mentransformasi peradaban yang kacau menjadi masyarakat yang berkeadilan, beradab, dan bermartabat.

Spirit keteladanan itulah yang harus kita aktualisasikan kembali dalam kehidupan kebangsaan. Bahwa kepemimpinan adalah amanah, bukan sarana memperkaya diri. Bahwa politik harus berpihak pada kepentingan rakyat, bukan segelintir elit. Bahwa ekonomi mesti berorientasi pada kesejahteraan bersama, bukan pada akumulasi kapital semata. Dan bahwa agama harus menjadi pencerah kehidupan publik, bukan sekadar simbol seremonial tanpa daya transformasi.

Saat ini kita membutuhkan pemimpin yang meneladani Nabi Saw.: jujur, amanah, adil, berani, sekaligus berpihak pada mereka yang lemah. Kita juga membutuhkan rakyat yang meneladani Nabi, mereka yang sabar, bersatu, tidak mudah diadu-domba, serta berani menyuarakan kebenaran di hadapan kekuasaan.

Indonesia memang sedang menghadapi krisis kebangsaan yang multidimensi. Namun, sejarah menunjukkan bahwa setiap krisis selalu membuka peluang bagi transformasi. Apabila spirit Maulid benar-benar kita resapi, maka harapan tetap terbentang. Sebab gelapnya malam sejatinya hanyalah pertanda bahwa fajar segera menyingsing.

Penulis: Muhammad Afif Fudin Zuhri, Wakil Bendahara PW IPNU Jawa Tengah

Editor: Fahri Reza M.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Skip to content