Ironi Tambang Nikel di Raja Ampat

Setiap tahun, dunia memperingati Hari Lingkungan Hidup sebagai upaya kolektif merefleksikan hubungan manusia dengan alam. Di tahun 2025 ini, tema global yang diusung adalah “Ending Plastic Pollution”, sebuah seruan penting di tengah krisis sampah plastik yang mengancam kehidupan laut dan darat. Namun, bagi indonesia, terutama ketika menyoroti kondisi sebuah wilayah, seperti di Raja Ampat, pemerintah seharusnya dapat memaknai lebih dalam tema “Save The Planet”. Sebab, saat dunia sibuk membicarakan plastik, bumi pertiwi sedang menghadapi ancaman serius dari tambang nikel yang merangsek ke salah satu kawasan dengan keanekaragaman hayati paling kaya di dunia.

Empat perusahaan tambang nikel telah mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk beroperasi di kawasan Raja Ampat, mereka adalah PT Gag Nikel di Pulau Gag, PT Anugerah Surya Pratama di Pulau Manuran dan Waigeo, PT Kawei Sejahtera Mining di Pulau Kawe, serta PT Mulia Raymond Perkasa di Pulau Manyaifun dan Batang Pele. Aktivitas ini bukan sekadar proyek ekonomi biasa, namun ancaman besar bagi ekosistem laut dan hutan yang selama ini menopang kehidupan ribuan spesies dan komunitas lokal.

Hutan dan laut tidak bisa dipisahkan dari keberlangsungan hidup manusia. Hutan menjadi penyerap karbon dan pengaturan iklim global, sementara laut menyediakan oksigen dan menjadi lumbung pangan alami. Lebih dari itu, masyarakat adat dan komunitas lokal di Raja Ampat menjadikan ekosistem ini sebagian dari identitas dan ruang hidup mereka. Ketika perusahaan tambang masuk dan mulai mengubah lanskap ekologis, yang hancur bukan hanya alam, tetapi juga peradaban lokal yang telah berdampingan harmonis dengan lingkungan selama ratusan tahun.

Ironisnya, praktik eksploitasi ini sering dilegalkan atas nama pembangunan. Negara dengan mudah mengeluarkan izin usaha tambang tanpa proses konsultasi yang transparan kepada masyarakat terdampak. Janji pembangunan dan kesejahteraan sering menjadi alasan untuk membungkam kritik terhadap eksploitasi. Inilah wajah dari pembangunan yang timpang. Lebih mementingkan pertumbuhan ekonomi jangka pendek, daripada keberlanjutan ekologis jangka panjang.

Situasi ini bisa dipahami melalui teori kapitalisme ekologis yang dikemukakan oleh James O’Connor. Menurutnya, sistem kapitalisme mengandung kontradiksi internal, ia mengejar akumulasi keuntungan tanpa batas, namun pada saat yang sama, menghancurkan pondasi ekologis yang dibutuhkan untuk menopang kehidupan itu sendiri. Dalam konteks Indonesia, kita menyaksikan bagaimana kebijakan pro korporasi merajalela. Dari izin perkebunan sawit di Kalimantan hingga industri tambang di Papua. Negara tampaknya lebih memihak kepentingan investor daripada menjaga hak-hak masyarakat adat atau melindungi ekosistem yang rapuh.

Raja Ampat adalah laboratorium alam tak tergantikan. Ia bukan hanya warisan Indonesia, tetapi warisan dunia. Kehancurannya berarti kehilangan kolektif bagi umat manusia. Oleh karena itu, Hari Lingkungan Hidup sekarang bukan lagi soal seremoni atau kampanye satu hari dengan penuh slogan. Ia harus menjadi momentum kebijakan politik, moral, dan budaya, demi menegaskan kembali bahwa bumi bukan milik segelintir korporasi, tetapi milik bersama yang harus dilindungi. Mari kita tolak dan hentikan aktivitas pertambangan di Raja Ampat.

Hari Lingkungan Hidup 2025 seharusnya menjadi titik balik bagi IPNU untuk tampil sebagai garda pelajar yang peduli, progresif, dan berpihak pada masa depan bumi. Sebagai kader IPNU, kita tidak boleh diam melihat kerusakan lingkungan yang dilakukan oleh para perusak alam tersebut. Nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan yang kita junjung tinggi menekankan pentingnya rahmatan lil alamin. Maka dari itu, membela lingkungan hidup bukan sekadar bentuk aktivisme, tapi bagian dari tanggung jawab spiritual, moral, dan kebangsaan.

Penulis: Suparyanto, Wasekum PP IPNU Bidang Lingkungan Hidup

Editor: Fahri Reza

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Skip to content