Mataram, SiRekan
Dalam satu tahun terakhir, masyarakat Kota Mataram dihebohkan oleh maraknya kasus kekerasan dan pelecehan seksual. Ironisnya, belum selesai publik mencerna kasus-kasus tersebut, kini kembali digemparkan dengan fenomena prostitusi online yang kian masif. Salah satu istilah yang mencuat di kalangan masyarakat adalah “Walid Doraemon”, istilah yang gunakan untuk menyamarkan praktik pelacuran terselubung yang melibatkan anak di bawah umur.
Berdasarkan penyelidikan mendalam yang dilakukan oleh Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), terungkap sebuah kasus memilukan yang terjadi pada Juni 2024. Seorang pria berinisial MAA (52) secara langsung meminta “orang baru” kepada ES (22), yang tak lain adalah kakak kandung dari korban. Tanpa empati sedikit pun, ES menyerahkan adiknya yang masih berusia 14 tahun untuk memenuhi nafsu bejat MAA dan menerima imbalan uang sebesar Rp 8 juta.
Atas tindakan tersebut, Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda NTB menetapkan MAA dan ES sebagai tersangka. Keduanya dijerat dengan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), atau Pasal 88 junto Pasal 76i UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Sebagai Kota yang menjunjung tinggi jargon “Mataram HARUM” (Harmonis, Aman, Ramah, Unggul, dan Mandiri) realita ini merupakan temparan keras. Alih-alih menjadi simbol ketertiban sosial, kesejahteraan, dan nilai-nilai moral, praktik prostitusi justru kian terstruktur, terbuka, dan mengakar di tengah masyarakat. Fenomena ini bukan sekedar pelanggaran norma agama dan sosial, melainkan juga krisis peradaban.
Ketua IPNU Kota Mataram, Muhammad Iskandar Haris, menegaskan:
“Ini bukan lagi soal moral pribadi, ini soal kehormatan kota. Jika prostitusi semakin marak dan merambah anak-anak, maka yang terancam bukan hanya satu keluarga, tapi masa depan sebuah generasi.”
Senada dengan itu, berdasarkan kutipan dari Media ANTARA News, Kepolisian Resor Kota Mataram telah menetapkan 11 tersangka yang berperan sebagai mucikari. Pengungkapan ini merupakan hasil dari Operasi Pekat Rinjani 2025 yang digelar selama dua pekan, mulai 24 Februari hingga 9 Maret 2025. Dalam operasi tersebut, aparat berhasil mengungkap 11 bisnis prostitusi yang beroperasi secara sistematis di Kota Mataram.
Menghadapi situasi ini, pemerintah memang memiliki peran strategis dalam membuat regulasi dan menegakkan hukum. Namun, akar persoalan seperti pergaulan bebas, krisis akhlak, dan kemiskinan bukanlah beban yang bisa dipikul sendiri oleh pemerintah.
Muhammad Iskandar menambahkan:
“Seluruh elemen masyarakat harus ambil bagian, termasuk kami dari Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU). Sebagai pelajar, kami tidak hadir hanya sebagai penonton atau pengkritik, tapi bagian dari solusi.”
IPNU berkomitmen untuk mengambil peran aktif melalui pendekatan edukatif dan preventif, antara lain melalui:
- Pendidikan moral dan penguatan karakter pelajar
- Pembinaan remaja berbasis nilai keagamaan dan kearifan lokal.
- Program penyuluhan tentang bahaya prostitusi dan seks bebas.
- Membangun komunitas pelajar yang sehat dan produktif.
IPNU ingin menjadi mitra strategis pemerintah dalam upaya menekan angka prostitusi, tidak hanya dengan pendekatan hukum yang represif, tetapi juga melalui gerakan sadar, masif, dan berkelanjutan di kalangan remaja.
Karena sejatinya, menjaga marwah dan kehormatan Kota Mataram bukan hanya tugas wali kota atau aparat kepolisian, melainkan juga tugas kita bersama: umat, rakyat, pemuda, dan pelajar. Mari kita jaga Kota Mataram agar tetap HARUM — bukan hanya dalam slogan, tetapi dalam tindakan nyata.
Kontributor: Muhammad Iskandar Haris
Editor: Aji Santoso
Foto: Dok. PC IPNU Kota Mataram