SiRekan
Setiap tanggal 2 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Momentum ini menjadi saat yang tepat untuk merefleksikan perjalanan panjang dunia pendidikan di tanah air, meneladani semangat perjuangan Ki Hadjar Dewantara, serta meneguhkan kembali harapan akan masa depan yang lebih cerah melalui ilmu pengetahuan dan pendidikan yang berkarakter.
Sebagai pelajar Nahdlatul Ulama (NU), peringatan Hardiknas tahun ini terasa istimewa. Nilai-nilai keislaman seperti tafaqquh fiddin dan pentingnya ilmu dalam Islam sejalan dengan semangat Hardiknas dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Ilmu bukan semata-mata proses transfer pengetahuan, melainkan cahaya yang membimbing, pelita yang menerangi jalan peradaban, serta modal utama untuk berkhidmat kepada agama, bangsa, dan negara.
Ki Hadjar Dewantara melalui trilogi pendidikannya yang abadi, ‘Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani’ telah meletakkan dasar pendidikan yang humanis, membebaskan, dan berorientasi pada pengembangan potensi peserta didik secara utuh. Nilai-nilai ini selaras dengan tradisi pendidikan di lingkungan NU, di mana sosok guru bukan hanya pengajar, melainkan juga mursyid yang membimbing, menuntun, dan menjadi teladan bagi murid-muridnya.
Menyongsong Indonesia Emas 2045, kita membutuhkan generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki karakter yang kuat, semangat gotong royong, serta cinta tanah air. Pendidikan hari ini adalah investasi jangka panjang untuk mencetak generasi unggul yang siap menghadapi berbagai tantangan zaman. Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi harus diiringi dengan penanaman nilai-nilai kebudayaan serta ajaran Islam yang moderat dan toleran.
Hardiknas juga menjadi pengingat akan pentingnya literasi digital yang cerdas dan bertanggung jawab. Di tengah derasnya arus informasi di era digital, pelajar NU harus mampu menyaring informasi secara bijak, memanfaatkan teknologi untuk hal-hal produktif, serta menjadi agen penyebar narasi positif dan penangkal paham radikalisme di ruang digital. Ini sejalan dengan prinsip Islam ‘wasathiyah’ yang senantiasa dijunjung tinggi oleh warga NU.
Namun, tantangan pendidikan di era globalisasi dan disrupsi teknologi semakin kompleks. Kita dihadapkan pada perkembangan teknologi yang pesat, ketimpangan sosial, serta berbagai persoalan kebangsaan yang memerlukan solusi cerdas dan berakar pada nilai-nilai luhur bangsa. Di sinilah peran generasi muda NU menjadi sangat strategis.
Kita tidak hanya dituntut menguasai ilmu pengetahuan, tetapi juga memahami ajaran agama dengan baik, menghargai kearifan lokal, serta menumbuhkan semangat nasionalisme. Pendidikan harus membentuk pribadi yang berakhlak mulia, peduli terhadap sesama, dan mampu memberi solusi atas problematika masyarakat.
Pada momentum Hardiknas ini, ada beberapa isu krusial yang patut menjadi perhatian bersama:
1. Akses Pendidikan yang Merata dan Berkualitas Ketimpangan akses antara wilayah perkotaan dan pedesaan, serta antara kelompok masyarakat mampu dan kurang mampu, masih menjadi tantangan serius. Setiap anak bangsa harus mendapatkan kesempatan yang adil untuk mengakses pendidikan yang berkualitas dan relevan dengan perkembangan zaman.
2. Kurikulum yang Adaptif dan Berbasis Karakter Kurikulum harus dievaluasi secara berkala agar mampu menjawab tantangan zaman dan kebutuhan peserta didik. Pendidikan bukan hanya soal pengetahuan, tetapi juga pembentukan karakter: kejujuran, kedisiplinan, semangat gotong royong, dan cinta tanah air.
3. Pemanfaatan Teknologi Secara Bijak Teknologi digital membuka banyak peluang dalam pendidikan. Namun, pemanfaatannya harus merata dan bijak, dengan memperhatikan kesiapan infrastruktur, pelatihan guru, dan perlindungan terhadap dampak negatif seperti hoaks dan penyebaran nilai-nilai yang bertentangan dengan budaya bangsa.
4. Penguatan Peran Pesantren dalam Sistem Pendidikan Nasional Pesantren sebagai bagian penting dari sistem pendidikan Indonesia memiliki peran strategis dalam membentuk generasi yang ‘alim, faqih, dan berjiwa kebangsaan. Sinergi antara pendidikan formal dan pendidikan pesantren perlu terus diperkuat demi mencetak sumber daya manusia unggul dan berakhlak karimah.
Peringatan Hardiknas tahun ini harus menjadi momentum bagi semua pihak pemerintah, pendidik, peserta didik, orang tua, dan masyarakat untuk bersatu padu mengatasi berbagai tantangan pendidikan. Semangat ‘hubbul wathan minal iman’ (cinta tanah air sebagian dari iman) harus terus menjadi landasan dalam setiap langkah perjuangan memajukan pendidikan.Sebagai pelajar Nahdlatul Ulama, mari kita buktikan bahwa dengan ilmu yang mencerahkan dan akhlak yang kokoh, kita mampu menjadi agen perubahan yang membawa kemajuan bagi bangsa dan negara. Semangat Hardiknas adalah semangat untuk terus belajar, berkarya, dan berkhidmat demi Indonesia yang lebih baik.
Mari kita jadikan Hardiknas tahun ini sebagai momentum memperkuat sinergi antara pendidikan formal, pendidikan agama, dan pendidikan karakter. Saatnya bergandengan tangan guru, santri, orang tua, dan seluruh elemen masyarakat untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas, merata, memerdekakan, mencerdaskan, dan membentuk generasi berakhlak mulia. Dengan ilmu dan akhlak, kita bangun bangsa yang berdaulat, adil, dan makmur demi terwujudnya Indonesia Emas 2045.
Kontributor: Ade shohibbul khafidz
Editor: Ikbar Zakariya