Melihat Kedekatan Kiai Tolchah Mansur dan Kiai Ali Maksum

Prof. K.H. M.Tolchah Mansoer dan K.H. Ali Maksum. Dua sosok yang punya banyak kesamaan, tetapi terpaut usia yang cukup jauh. Kiai Ali adalah pengasuh pesantren tua di Yogyakarta, Pondok Pesantren Krapyak, sedangkan Pak Tolchah (sapaan santri dan para sahabatnya)  perintis pesantren PP. Sunni Darussalam. Pondok Krapyak ada di sebelah selatan Yogyakarta, sedangkan pondok Pak Tolchah jauh di utaranya, tepatnya di Depok, Sleman. 

Kesamaan lain Pak Tolchah dengan Kiai Ali adalah gelar aktivis NU militan yang disandang keduanya. Kiai Ali aktif dalam urusan struktural dan kultural NU, mulai dari kiprahnya di PWNU DIY sampai menduduki jabatan Rais Syuriah NU periode 1981-1984. Di pihak lain, Kiai Tolchah dengan semangat kesantriannya membidani cikal bakal organisasi pelajar di NU, Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama. Selain urusan dengan Nahdlatul Ulama, Kiai Ali dan Pak Tolchah juga aktif dalam urusan demokrasi negara, keduanya pernah menjadi anggota perwakilan rakyat pada masanya masing-masing. Kiai Ali adalah Anggota Konstituante dari Fraksi NU dan Pak Tolchah anggota BPH DIY.

Persinggungan Kiai Ali dan Pak Tolchah tampaknya  sudah terjalin cukup lama. Pada pemilu tahun 1955, Kiai Ali dan para ulama NU DIY lain berjuang keras agar partai NU mendapat tempat di kursi DPRD DIY. Di antara tokoh NU yang terpilih adalah Pak Tolchah, bersama Irsyad R.H, Moh. Djamhari, dan Darsono. Kiai Ali memang punya kenangan baik dengan Pak Tolchah. Saat ramai-ramainya pencalonan Menteri Agama RI pascapemilu 1971, Kiai Ali mencalonkan Pak Tolchah untuk maju sebagai calon menteri agama bersaing dengan Mukti Ali, setelah turunnya K.H. Much. Dahlan. Upaya Kiai Ali ini agar generasi muda NU mendapatkan kesempatan di kancah nasional.

Hal itu bukan tanpa alasan, selain khatam urusan hukum tata negara, dan punya pengalaman sebagai BPH (Badan Pengurus Harian, setingkat DPRD) di Daerah Istimewa Yogyakarta, Pak Tolchah memiliki pengetahuan agama yang mumpuni, meskipun tidak jebolan pesantren secara harfiah. Pak Tolchah secara otodidak mempelajari berbagai literatur agama dengan teliti dan serius. Bekal belajar tata bahasa arab semasa di Sekolah Rakyat Muallimin NU Malang, yang diampu kiai-kiai besar di Jatim menjadi urun besar kemampuan beliau membaca kitab kuning. Selain itu, Pak Tolchah juga kerap posonan di beberapa pesantren, seperti PP. Tebuireng, Jombang dan PP. Al-Hidayah, asuhan Kiai Ma’sum, Lasem. Meskipun demikian, kepakarannya tidak terlepas dari tantangan K.H. Wahab Hasbullah (kakek dari Istrinya), pada dirinya untuk mempelajari kitab-kitab kuning secara mandiri.

Kepakaran Pak Tolchah juga jadi magnet tersendiri bagi dosen-dosen IAIN Sunan Kalijaga. Seringkali, tiap minggu Pak Tolchah mengadakan pengajian kitab yang diampu oleh beliau sendiri. Pesertanya macam-macam, warga, dosen dan mahasiswa, salah satunya Kiai Ali. Suatu hari, Kiai Ali kedapatan pernah ikut bandongan-nya Pak Tolchah. Di satu sisi, Kiai Ali sendiri ialah pakar kitab kuning, yang mendapat julukan munjid (kamus monolingual bahasa Arab) berjalan. Mungkin, Kiai Ali melihat potensi besar dari Pak Tolchah, karena saat itu jarang sekali ulama NU punya dua kepakaran ilmu yang berbeda. Pak Tolchah adalah Doktor Ilmu Hukum Tata Negara generasi kedua di Indonesia, sekaligus ulama yang kredibel. Selain itu, Kiai Ali memang sering bersilaturahmi ke rumah rekannya itu, terkadang membawa serta putra dan putrinya. Saat itu Kiai Tolchah masih tinggal di Kolombo. 

Dalam urusan pengajaran kepada keluarga, Kiai Ali dan Pak Tolchah juga amat bermiripan. Kiai Ali dengan bekal keilmuan kitab kuning menjadi sosok terpenting dalam kaderisasi ulama di Pondok Pesantren Krapyak, selepas kewafatan K.H. Munawwir. Sebagai tokoh tertua, Kiai Ali punya tanggung jawab besar untuk mendidik keluarganya, baik adik-adik dan putra putri beliau sendiri. Di tangan beliau, Krapyak yang dulu hanya terbatas mengadakan pengajian Al-Qur’an, lambat laun juga melahirkan sosok-sosok alim ahli agama. Ulama seperti Kiai Zainal Munawwir, K.H. Abdurrahman Wahid, Gus Mustofa Bisri, dan tokoh besar lainnya lahir dari tangan dingin beliau.

Sementara itu, Pak Tolchah punya prinsip yang agak berbeda. Pak Tolchah punya keinginan besar menjadikan putra-putri beliau, sarjana-sarjana unggul di berbagai cabang ilmu pengetahuan, tidak sekadar mahir dalam ilmu agama. Meskipun dalam perjalanannya, Ibu Umroh Mahfudhoh kerap meragukan keputusan suaminya itu. Beliau mengkhawatirkan bagaimana pondok yang mereka berdua rintis mampu tetap berdiri, jika semua anaknya tak ada yang di pesantren. Kiai Tolchah menjawab dengan yakin, bahwa nanti carikan saja menantu yang pandai ilmu agama. Untuk urusan keagamaan, Pak Tolchah sendiri yang mendidik anak-anaknya, rutin setiap hari selepas maghrib, tanpa terkecuali. 

Kedekatan Kiai Ali dan Pak Tolchah juga tampak semasa Pak Tolchah sakit menjelang hari wafatnya. Pada tahun 1986, Kiai Ali bersama Dr. Samik Wahab dan eks. Rektor IAIN Sunan Kalijaga, Drs. H. Muin Umar mengantarkan Pak Tolchah ke RS. Sardjito. Kiai Ali juga turut menemani Pak Tolchah sampai wafatnya beliau pada Senin sore, 20 Oktober 1986. Kiai Ali secara khusus meminta keluarga Pak Tolchah, agar beliau dimakamkan di Makam Dongkelan, makam keluarga keraton. Meskipun dari segi nasab, Pak Tolchah tidak punya hubungan darah dengan keraton. Pak Tolchah keturunan suku Madura yang besar di Malang. Bersama dengan beberapa kolega Pak Tolchah, Kiai Ali turut serta menyalatkan dan mengantarkan kepergian beliau dengan khidmat. 

Kesamaan keduanya bukan tanpa alasan. Di lain hal, memang tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Allah menakdirkan keduanya, yang merupakan pendatang dari Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk menjadi “bintang” dan ulama besar di kota Yogyakarta. Bukan hanya di satu provinsi itu, tapi di skala nasional. Kiai Ali dan Pak Tolchah mewariskan pemikiran dan legacy yang luar biasa. Pemikiran yang tidak berhenti pada masanya saja, tetapi relevan untuk ditelaah kembali oleh para penerusnya, tidak hanya yang bersekolah formal, namun juga yang nyantri di pesantren. Seperti yang dicita-citakan secara khusus oleh Pak Tolchah. IPNU tidak hanya milik pelajar sekolah dan mahasiswa, tetapi juga para santri.

Penulis: Fahri Reza M.

Sumber: 

Caswiyono, R. dkk. 2009. K.H. Tolchah Mansoer: Biografi Profesor NU Yang Terlupakan

Athoillah, A. 2019. K.H. Ali Maksum: Ulama, Pesantren, NU

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Skip to content