Sirekan
Dalam dunia yang semakin terfragmentasi, kita dihadapkan pada tantangan yang tidak lagi bersifat teknis semata, tetapi bersifat adaptif dan kompleks. Polarisasi sosial, disinformasi digital, ketidaksetaraan yang makin menganga, serta krisis global seperti perubahan iklim dan pandemi telah memperbesar ketidakpastian di berbagai lini kehidupan. Maka, jika kita ingin membangun masyarakat yang kohesif, kita memerlukan kepemimpinan yang tidak hanya mampu mengatur, tetapi juga mengarahkan, mendengarkan, dan beradaptasi dengan realitas baru. Inilah esensi dari kepemimpinan adaptif.
International Conference on Cohesive Societies (ICCS) 2025 di Singapura telah memberikan banyak pelajaran penting tentang bagaimana negara-negara dan komunitas multikultural di seluruh dunia sedang berjuang “menavigasi ketidakpastian” (navigating uncertainty). Salah satu benang merah dari berbagai sesi diskusi adalah perlunya pendekatan baru dalam memimpin komunitas yang beragam, bukan pendekatan otoritatif, tetapi pendekatan yang inklusif, reflektif, dan adaptif.
Konsep kepemimpinan adaptif pertama kali dipopularkan oleh Ronald Heifetz dan Marty Linsky dari Harvard Kennedy School. Mereka membedakan antara masalah teknis (yang bisa diselesaikan dengan keahlian dan struktur yang ada) dan masalah adaptif (yang membutuhkan pembelajaran baru, perubahan nilai, dan transformasi cara berpikir). Kepemimpinan adaptif adalah kemampuan untuk mengidentifikasi tantangan yang tidak bisa dipecahkan dengan cara lama, dan kemudian mengajak masyarakat untuk ikut serta dalam proses transformasi.
Seorang pemimpin yang adaptif tidak datang dengan semua jawaban. Ia datang dengan pertanyaan yang tepat. Ia tidak hanya menyampaikan instruksi, tetapi menciptakan ruang dialog dan refleksi, terutama di tengah ketidakpastian. Ia juga bersedia kehilangan kenyamanan lama demi menemukan jalan baru yang lebih relevan.
Mengapa Ini Penting dalam Konteks Kohesi Sosial?
Dalam masyarakat yang majemuk seperti Indonesia, tantangan sosial semakin kompleks. Bukan hanya soal kesenjangan ekonomi atau akses pendidikan, tetapi juga ketegangan identitas, konflik budaya, serta munculnya kelompok-kelompok yang merasa terpinggirkan. Di tengah kondisi ini, kepemimpinan yang kaku atau eksklusif hanya akan memperbesar jarak dan memperdalam kecurigaan.
Kepemimpinan adaptif menawarkan pendekatan yang lebih humanis. Ia mendorong pemimpin untuk mengenali perbedaan, bukan menutupinya. Ia memfasilitasi diskusi lintas nilai dan membuka kemungkinan kolaborasi yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Inilah kepemimpinan yang tidak anti terhadap perbedaan, melainkan menggunakannya sebagai sumber kekuatan kolektif.
Selama ICCS 2025, banyak tokoh yang hadir dan merupakan delegasi pemimpin komunitas dari pemuka agama, aktivis muda, hingga pejabat lokal dan internasional dari berbagai negara dengan berbagi pengalaman mereka dalam memimpin di tengah fragmentasi sosial. Mereka bukan orang yang sempurna, namun mereka berani tampil jujur, mengakui keterbatasan, dan mengajak komunitas mereka belajar bersama menghadapi perubahan, di sinilah letak kekuatan kepemimpinan adaptif, ia mengandalkan kolaborasi, bukan kontrol.
Navigating Uncertainty Dimulai dari Keteladanan
Menavigasi ketidakpastian tidak berarti menyingkirkan semua risiko. justru itu berarti berani berjalan di tengah kabut, dengan kompas nilai yang kuat dan kepekaan terhadap lingkungan sekitar. Seorang pemimpin yang adaptif tahu bahwa ia tidak bisa memprediksi segalanya, tetapi ia bisa menciptakan ketahanan sosial melalui empati, komunikasi terbuka, dan kemauan untuk belajar ulang.
Dalam konteks Indonesia, kepemimpinan adaptif sangat relevan diterapkan di berbagai level, dari kepala desa hingga gubernur, dari pengurus RT hingga rektor perguruan tinggi bahkan pemimpin muda NU di struktural IPNU dari berbagai tingkatan. Kita butuh lebih banyak pemimpin yang tidak sekadar mengandalkan jabatan, tetapi mempraktikkan keberanian moral, kecerdasan sosial, dan kesiapan lintas budaya (cross-cultural readiness).
Kesiapan lintas budaya ini penting untuk menghindari jebakan homogenitas dalam pengambilan keputusan. Pemimpin yang adaptif harus bisa mendengar suara minoritas, merangkul kelompok yang berbeda agama atau bahasa, dan mendorong partisipasi dari semua pihak tanpa prasangka.
Di tengah ketidakpastian, kita sering tergoda mencari pemimpin yang kuat, tegas, dan penuh solusi cepat. Namun sejarah dan pengalaman menunjukkan bahwa yang kita butuhkan bukan hanya kekuatan, tetapi juga kebijaksanaan untuk menyesuaikan diri dengan realitas yang berubah. Pemimpin yang adaptif mungkin tidak selalu populer, tetapi mereka menanam benih perubahan yang tahan lama.
Masyarakat yang kohesif bukanlah masyarakat yang seragam, melainkan masyarakat yang mampu hidup bersama dalam perbedaan dan untuk mencapainya kita membutuhkan pemimpin yang siap berubah dan siap memimpin orang lain melewati ketidakpastian itu bersama-sama.
Penulis: Muh. Agil Nuruz Zaman, Ketua Umum IPNU & Delegasi IPNU untuk ICCS 2025
Editor: Cak Ruel