Reformasi 1998 dikenang sebagai momentum bersejarah ketika rakyat Indonesia, dengan keberanian luar biasa, turun ke jalan menuntut perubahan. Gelombang aksi mahasiswa dan masyarakat kala itu bukan hanya menuntut lengsernya kekuasaan otoriter, tetapi juga menginginkan lahirnya sistem politik yang lebih terbuka dan adil. Salah satu cita-cita besarnya adalah terbentuknya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang benar-benar menjadi rumah rakyat, tempat suara masyarakat diolah menjadi keputusan yang berpihak pada kepentingan bersama.
Namun, setelah lebih dari dua dekade, gambaran ideal itu masih jauh dari kenyataan. Setiap kali muncul demonstrasi besar di depan gedung parlemen, publik kembali disuguhi pemandangan yang sama: pagar tinggi dililit kawat berduri, aparat berjaga ketat, sementara para wakil rakyat memilih mengunci diri di ruang rapat. Gedung DPR tampak lebih seperti benteng pertahanan ketimbang rumah rakyat yang terbuka. Padahal, rakyat datang hanya dengan satu maksud: ingin didengar.
Belakangan, kekecewaan masyarakat terhadap DPR semakin menguat ketika lahir berbagai kebijakan yang justru menambah beban publik di tengah kesulitan ekonomi. Rakyat menyalurkan penolakan melalui aksi demonstrasi, sebagian bahkan dalam skala besar. Namun, alih-alih hadir menyapa massa untuk mendengar langsung aspirasi mereka, para anggota dewan justru bersembunyi di balik tembok parlemen. Mereka berdalih bahwa tidak ada perwakilan resmi yang bisa diajak berdialog, seolah-olah suara rakyat baru layak didengarkan jika sesuai dengan mekanisme formal.
Sikap ini semakin memperlebar jarak antara DPR dan rakyat. Padahal, reformasi mengajarkan bahwa demokrasi tumbuh melalui dialog terbuka, bukan dari prosedur yang kaku. Ketika rakyat sudah sampai turun ke jalan, itu artinya ada keresahan yang tak tersalurkan lewat jalur biasa. Seharusnya pada titik itulah wakil rakyat mengambil peran: keluar menemui masyarakat, mendengarkan keluhan mereka, sekaligus memberi penjelasan. Dengan begitu, rakyat merasa dihargai, meskipun tidak semua tuntutan dapat dipenuhi.
Sayangnya, realitas yang tampak justru sebaliknya. DPR memilih “sembunyi tangan” dengan menyerahkan sepenuhnya urusan di lapangan kepada aparat keamanan. Akibatnya, aparatlah yang harus berhadapan langsung dengan massa yang marah. Situasi ini kerap memicu benturan, bahkan tidak jarang berujung pada korban jiwa. Publik pun lebih mudah menyalahkan aparat karena dianggap represif. Padahal, aparat di lapangan hanyalah pelaksana tugas negara, yang bekerja dalam tekanan, dengan risiko salah mengambil keputusan di tengah kondisi panas.
Di sinilah letak ketidakadilan yang sering terlupakan. Kritik terhadap aparat tentu penting, terutama jika terjadi tindakan berlebihan. Namun, beban moral yang lebih besar sejatinya ada pada pundak anggota dewan. Jika mereka berani menemui massa, berdialog langsung, ketegangan bisa mereda. Aparat tidak akan sendirian menanggung risiko bentrokan, karena ada mediator politik yang memang dipilih untuk itu.
Fenomena ini menunjukkan betapa DPR semakin menjauh dari semangat reformasi. Demokrasi bukan sekadar rapat formal di ruang ber-AC dengan agenda yang tertata rapi. Demokrasi justru hidup ketika wakil rakyat berani hadir di tengah rakyat, sekalipun dalam situasi sulit. Keberanian itu adalah bukti nyata komitmen pada prinsip keterbukaan. Tanpanya, DPR hanya akan dipandang sebagai institusi elitis yang sibuk melindungi diri sendiri ketimbang memperjuangkan kepentingan rakyat.
Lebih dari itu, sikap menutup diri dari kritik hanya akan memperlebar jurang ketidakpercayaan publik. Rakyat yang merasa tidak didengar akan semakin yakin bahwa wakil mereka tak lagi berpihak. Konsekuensinya, demonstrasi akan semakin sering muncul, tensi sosial meningkat, dan benturan dengan aparat kian sulit dihindari. Jika pola ini terus dibiarkan, bukan mustahil legitimasi DPR runtuh di mata rakyat.
Sudah saatnya DPR meninggalkan kebiasaan buruk “sembunyi tangan”. Hadir di hadapan rakyat, mendengar langsung, dan memberikan penjelasan adalah kewajiban dasar wakil rakyat. Tidak semua tuntutan memang bisa dipenuhi, dan wajar bila ada perbedaan pendapat. Namun keberanian untuk hadir adalah simbol penghormatan pada demokrasi sekaligus penghargaan bagi rakyat yang memberi mandat.
Demokrasi tidak menuntut kesempurnaan, melainkan keberanian untuk berdialog. Jika DPR hanya mau mendengar melalui prosedur formal, maka mereka telah kehilangan makna sejati sebagai representasi rakyat. Kehadiran wakil rakyat di tengah demonstrasi bukan hanya simbolis, tetapi juga strategis: mencegah eskalasi, membangun komunikasi, dan menjaga legitimasi.
Situasi sekarang memperlihatkan buruknya wajah parlemen: bukan hanya pengecut, tetapi juga kehilangan daya sebagai pengawal kebijakan. Parlemen yang seharusnya menjadi benteng terakhir rakyat, justru berubah menjadi pelicin kepentingan. Suara rakyat dianggap tidak penting, bahkan sering diabaikan.
Reformasi adalah amanah yang lahir dari darah dan air mata rakyat. Mengabaikan suara rakyat sama saja dengan mengkhianati amanah itu. Wakil rakyat tidak boleh terus bersembunyi di balik tembok tinggi parlemen. Mereka harus berani berdiri di depan, menatap rakyat, dan menanggung konsekuensi dari mandat yang diemban.
Jika tidak, sejarah hanya akan mengenang mereka bukan sebagai wakil rakyat, melainkan sekadar dewan yang pandai bersembunyi, tapi takut menghadapi kenyataan.
Penulis: Endang Susanti, Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Achmad Subakti