Dari Jalanan yang Berdarah hingga Warisan Perjuangan Ulama dan Pahlawan Bangsa

Insiden tragis yang terjadi semalam, ketika sebuah kendaraan aparat melindas pengemudi ojek online (ojol), kembali menorehkan luka dalam hati rakyat. Bagaimana mungkin pihak yang seharusnya menjadi pelindung justru berubah menjadi ancaman? Publik wajar marah, sebab rasa aman yang mestinya dijaga negara kini tercabik oleh kelalaian dan kesewenang-wenangan.

Kejadian ini tidak bisa dipandang sebagai peristiwa biasa. Ia adalah tamparan keras terhadap rasa keadilan dan integritas hukum. Aparat negara harus diproses secara transparan dan adil, tanpa pandang bulu. Jika rakyat kecil bisa dihukum atas pelanggaran ringan, maka aparat pun wajib bertanggung jawab penuh atas tindakan yang merenggut nyawa. Negara tidak boleh berpihak pada kuasa, melainkan pada kebenaran dan kemanusiaan.

Kemarahan publik hari ini seharusnya menjadi refleksi: negeri ini berdiri bukan karena kesewenang-wenangan, tetapi melalui perjuangan panjang para ulama dan pahlawan bangsa. KH. Hasyim Asy’ari bersama para muassis Nahdlatul Ulama, seperti KH. Wahab Chasbullah dan KH. Bisri Syansuri, telah meletakkan dasar kebangsaan dengan perjuangan moral dan fisik. Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 menegaskan bahwa mempertahankan tanah air adalah bagian dari iman, sebuah seruan yang melahirkan perlawanan heroik rakyat Surabaya pada 10 November.

Tak hanya ulama, para pahlawan nasional dari berbagai latar belakang juga berjuang mengorbankan jiwa dan raga. Soekarno dan Hatta berjuang di jalur diplomasi dan politik, Jenderal Sudirman memimpin perang gerilya dengan tubuh sakit, Bung Tomo membakar semangat rakyat dengan pidato heroiknya. Tokoh-tokoh muda seperti Sutan Sjahrir, Tan Malaka, hingga pahlawan perempuan seperti Cut Nyak Dien dan Martha Christina Tiahahu, semuanya meninggalkan jejak perjuangan. Mereka tidak menindas rakyatnya sendiri. Mereka berdiri bersama rakyat, karena sadar bahwa kemerdekaan hanya bisa tegak di atas persatuan dan penghormatan terhadap martabat manusia.

Sayangnya, insiden semalam justru memperlihatkan betapa jauh perilaku sebagian aparat dari spirit perjuangan tersebut. Aparat yang seharusnya meneladani semangat pahlawan justru terjebak dalam arogansi. Nyawa rakyat kecil seperti ojol seolah tidak berarti, padahal bangsa ini lahir dari darah rakyat biasa yang rela gugur demi merah putih. Kekuasaan tanpa moral adalah pengkhianatan terhadap sejarah. Jika aparat terus mengulang praktik sewenang-wenang, maka mereka sedang menodai warisan perjuangan KH. Hasyim Asy’ari, para muassis NU, dan seluruh pahlawan bangsa.

Karena itu, penyelesaian kasus ini tidak boleh berhenti pada permintaan maaf. Harus ada penegakan hukum yang adil, transparan, dan tuntas. Aparat harus dipulihkan fungsinya sebagai pengayom rakyat, bukan ancaman di jalanan. Kita harus kembali kepada warisan para ulama dan pahlawan: menjadikan kekuasaan sebagai jalan untuk melayani, menjadikan rakyat sebagai amanah, dan menegakkan keadilan sebagai fondasi bangsa.

Hanya dengan begitu, kemerdekaan yang diperjuangkan dengan darah dan air mata tidak akan ternodai oleh tragedi-tragedi yang lahir dari kelalaian dan kesewenang-wenangan.

Penulis: Asrafi, Wakil Sekretaris IV PC IPNU Pamekasan
Editor: Achmad Subakti

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Skip to content